masyarakat jepang di margomulyo

masyarakat jepang di margomulyo

Masyarakat Samin (masyarakat yang menerapkan faham antipenjajah Zaman Belanda), diusulkan untuk yang tinggil di sejumlah tempat di Kabupaten Bojonegoro, diusulkan menjadi kawasan cagar budaya. Alasannya, nilai-nilai luhur yang terkandung dari ajaran ini, cocok untuk iklim sekarang ini.
Pihak Dewan Kesenian Bojonegoro, yang mengusulkan ide ini, memandang, faham yang dibawa Samin, masih tetap relefan.
Setidaknya sebagai bahan perbandingan untuk pendidikan generasi sekarang ini. Kita usulkan sekaligus memfasilitasi agar masyarakat Samin di Bojonegoro, dijadikan cagar budaya, tegas Dodi Eko, Ketua Dewan Kesenian Bojonegoro, pada Tempo, Jumat (14/3) siang.
Samin adalah seorang nama yang mendirikan faham ini. Nama lengkapnya, Samin Surosentiko alias Raden Kohar, yang mendirikan faham ini awal-awal tahun 1940-an. Dalam catatan, Mbah Samin, panggilannya berasal dari Keraton Solo, yang kemudian mengembara dan menemukan faham menentang penjajah Belanda. Dia sengaja meninggalkan kehidupan keraton dan memilik menjadi masyarakat.
Mbah Samin, juga dikenal akrab dengan Presiden Soekarno. Mbah, Samin meninggal dalam pengasingan di Sumatera Barat, dan hingga kini makamnya masih berada di provinsi tersebut.
Faham yang dikenal populer itu, di antaranya, Sami-sami sapodo seduluran (Semua sama satu saudara). Faham itu, menurut Dodi, punyai nilai luhur. Juga catatan penting, bahwa masyarakat Samin itu, dikenal apa adanya, jujur, dan berpandangan perdamaian. ?Kondisi sekarang ini, jika diterapkan atau minimal dikenalkan generasi muda, sangat cocok,? tegasnya.
Pihak Pemerintah Kabupaten Bojoneoro sendiri, memang belum pernah membahas agenda soal usulan cagar budaya masyarakat Samin. Tetapi, secara personal, ketika Bupati Bojonegoro dijabat oleh Mohammad Santoso, memang sangat akrab dengan tokoh Samin, seperti Hardjo Kardi, yang kini mendiami di Dusun Jepang, Desa Jepang, Kecamatan Margomulyo, sekitar 70 kilometer arah selatan Kota Bojoneoro.
Komunitas Samin di Desa Jepang, lokasinya berada di tengah hutan, berikut di pingir Bengawan Solo. Di desa ini, kini tinggal sekitar 800 kepala keluarga, yang di antaranya masih meyakini faham Samin. Disana berdiam Mbah Hardjo Kardi, 68, tahun, tokoh Samin, sekaligus, cucu Mbah Samin Surosentiko.
Dalam sebuah wawancara, Mbah Harjo Kardi mengatakan, pihaknya tidak mengharapkan bantuan program Pemerintah, jika harus meminta-minta dahulu. Sebab, hal itu bukan ajaran Samin. Kalau Pemerintah itukan berkewajiban membantu rakyatnya. Jadi tidak perlu harus mengajukan dana, tegasnya pada Tempo di rumahnya November 2007 lalu.
Di rumahnya, yang sederhana, di Dusun Jepang, Desa Jepang, Hardjo Kardi, dikenal sebagai tokoh masyarakat yang unik. Kendati mengaku tidak pernah mengenyam sekolah, Mbah Kardi, demikian panggilannya, bisa baca tulis dengan lancar. Sederet ketrampilan juga dimilikinya. Seperti pandai besi (membuat peralatan pertanian dari besi, seperti cangkul, arit dan sejenisnya), elektronika, hingga membuat alat karawitan. Konon, kelebihan yang dimiliki Mbah Hardjo Kardi inilah, sebagai titisan kakeknya, yang merupakan pendiri faham Samin.
samin2.jpg (600×450)